Masa caturwulan merupakan masa yang penuh warna, tepatnya era 90an masa di mana semangat belajar begitu menggebu karena setiap empat bulan sekali ada ujian, dan setiap pembagian rapor menjadi momen yang paling dinanti. Hari itu selalu istimewa, bukan hanya karena nilai yang tertera, tetapi karena ibu selalu menyiapkan lepat pisang untuk dibawa ke sekolah. Aromanya yang manis dan hangat seolah menjadi tanda cinta dan doa yang tak pernah putus.
Hidup di masa itu terasa begitu sederhana. Uang jajan lima ratus perak sudah terasa seperti harta karun, cukup untuk membeli jajanan seperti cokelat, es lilin, atau permen warna-warni dari pedagang jajanan di sekolah. Di halaman sekolah, suasana selalu riuh oleh tawa anak-anak yang bermain bola atau bermain petak umpet. Suara tawa anak anak menjadi irama yang tak pernah membosankan. Dunia terasa begitu luas, padahal hanya seluas halaman sekolah dan jalan tanah menuju rumah.
Namun di balik keriuhan itu, sore selalu membawa ketenangan yang berbeda. Setelah matahari condong ke barat dan debu permainan mulai reda, langkah kecil diarahkan ke madrasah di dekat surau. Di sana, bersama teman-teman sebaya, waktu diisi dengan mengaji dan mempelajari huruf demi huruf Al-Qur’an. Suara ustadz yang lembut, ayunan suara iqra’ yang bersahutan, dan harum sajadah di lantai tikar menjadi bagian dari keseharian yang menenangkan. Mengaji bukan sekadar rutinitas, melainkan cara untuk belajar disiplin, menghargai waktu, dan mendekatkan diri kepada Allah sejak usia dini.
Malam hari sering dihabiskan untuk membaca buku pelajaran atau mengulang hafalan doa, dengan cahaya lampu yang temaram menemani. Semua terasa alami, tanpa beban, karena dorongan belajar lahir dari rasa ingin membahagiakan orang tua. Hingga akhirnya, usaha itu berbuah manis — ketika nama disebut sebagai salah satu siswa terpilih untuk mewakili sekolah dalam lomba cerdas cermat tingkat kabupaten/kota. Rasa bangga, gugup, dan syukur bercampur menjadi satu. Di kompetisi kecil itu, semua hasil belajar, doa, dan didikan rumah terasa berpadu menjadi kekuatan.
Kini, kenangan itu menjelma menjadi kisah indah tentang masa kecil yang agamis dan penuh makna. Masa ketika belajar di sekolah dan mengaji di madrasah berjalan seimbang, ketika lepat pisang ibu, uang jajan lima ratus perak, dan ayat-ayat suci yang dihafal sore hari berpadu membentuk fondasi karakter. Masa di mana kebahagiaan tidak diukur dari banyaknya barang, tetapi dari hangatnya kasih, ketulusan guru, dan doa yang tak pernah berhenti dari orang tua.
www.taufikazharim.web.id