Parlemen atau Dewan Perwakilan Rakyat sejatinya adalah miniatur rakyat itu sendiri. Lembaga ini hadir sebagai perwujudan demokrasi, tempat amanat ratusan juta orang dikumpulkan lalu diserahkan kepada segelintir wakil untuk dikelola. Dari sinilah lahir paradoks bahwa ketika rakyat mencaci DPR, sejatinya mereka sedang mencaci diri mereka sendiri. Sebab, wakil-wakil itu lahir dari pilihan rakyat, mewakili suara yang diberikan lewat kotak suara.
Sering kali kita mendengar DPR dilabeli dengan kata-kata negatif seperti penjahat, pengkhianat, atau hanya sekadar “tukang tidur.” Namun, perlu disadari bahwa cermin tidak pernah salah memantulkan wajah. Jika yang tampak buruk, maka itulah pantulan dari wajah rakyat yang memilihnya. Demokrasi memberi ruang kepada rakyat untuk memilih, tetapi juga memberi konsekuensi, setiap hasil pilihan adalah bagian dari tanggung jawab bersama. Lebih ironis lagi, ada sebagian orang yang paling keras menyerang DPR, tetapi mereka sendiri tidak pernah menggunakan hak pilihnya dalam pemilu. Sama saja dengan menebang pohon yang tak pernah mereka tanam.
Pada akhirnya, substansi demokrasi bukan hanya soal hak memilih, tetapi juga kesadaran akan tanggung jawab moral dari pilihan itu. Jika kita ingin DPR lebih baik, maka solusinya sederhananya rakyat pun harus lebih baik dalam menggunakan hak pilihnya, lebih bijak dalam menentukan wakil, dan lebih konsisten dalam menjaga amanat yang telah mereka titipkan. DPR hanyalah wajah, wajah itu akan berubah ketika rakyat yang di baliknya juga berubah.
www.taufikazharim.web.id